Monday, July 3, 2006

[Tafsir] Kajian Tafsir Ibnu Katsir

Rating:★★★★★
Category:Books
Genre: Other
Author:Ust. Muslim Gunawan
disarikan dari Kajian Tafsir di Masjid Nurul Haq, Komp. Pertamina Gn. Pipa setiap malam Rabu, ba'da maghrib-isya. Narasumber: Ust. Muslim Gunawan Ilham, MA.

[Al Baqarah 125-130]


Ayat 125 menjelaskan rahasia di balik suasana aman dan tentram yang selalu tercipta di Makkah. Selain dari tingkat kejahatan yang rendah, larangan dari hadits Rasul untuk membunuh binatang dan memotong tanaman di Makkah, juga terlebih lagi adalah karena janji Allah sendiri untuk menjadikannya sebagai tempat yang aman. Juga Allah-lah yang menjadikan hati manusia untuk condong, untuk merasa ingin pergi ke Makkah. Tidak hanya pada masa sekarang saja orang ingin ke Makkah, namun sudah sejak dulu kala. Sebagaimana tergambar dalam surat Al-Fiil, penyerbuan Abrahah ke Makkah untuk menghancurkan Ka'bah adalah karena sejak dulu manusia menjadikan Makkah sebagai tempat berkumpul. Negeri Yaman tempat Abrahah berada menjadi sepi karena kafilah-kafilah dagang lebih memilih untuk datang ke Makkah.

Ayat 126 memuat do'a nabi Ibrahim agar Makkah menjadi negeri yang aman serta diberi rezeki berupa buah-buahan. Salah satu bukti dikabulkannya do'a nabi Ibrahim adalah mudahnya penduduk Makkah untuk memperoleh buah-buahan dari berbagai macam. Ust. Muslim menceritakan bagaimana teman beliau terheran-heran ketika melihat buah durian segar serta buah-buahan lain begitu melimpah di Makkah dengan kondisi segar lagi ranum. Padahal tentunya buah-buahan tersebut tidak mungkin tumbuh di Makkah dan mungkin hanya masuk dengan jalan impor.

Namun semua kemudahan serta kenikmatan tersebut bukanlah tanpa reserve. Lebih lanjut Nabi Ibrahim berdo'a, "yaitu kepada mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian." Allah pun menjawab do'a Nabi Ibrahim bahwa yang kufur hanya diberikan kenikmatan yang sedikit saja. Maka berdasarkan konteks ayat ini, dibenarkan bagi kita dalam berdoa untuk mendoakan kebaikan hanya bagi orang muslim saja. Hal yang wajar apabila kita ingin saudara kita sesama muslim mendapatkan yang terbaik, memperoleh kenikmatan yang besar, dsb. Sebagaimana kita pun pasti ingin diri kita mendapatkan yang demikian.

Ust. Muslim juga menceritakan bahwa ayat ini pun mengisyaratkan adanya orang-orang yang kufur walaupun mereka berada di Makkah. Tidak hanya pada zaman nabi Ibrahim, atau zaman ketika nabi Muhammad hidup, tapi saat ini. Mereka yang setiap harinya berjalan dalam kota yang haram dilalui oleh non muslim namun kufur, mereka yang setiap hari melihat Masjidil Haram namun tidak sholat, ini merupakan kondisi nyata yang terjadi di Makkah saat ini.

Pada ayat 127, ketika Nabi Ibrahim meninggikan Ka'bah beliau berdo'a, "Ya Tuhan kami, terimalah (amal) kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui." Pertama bahwa Ka'bah merupakan "rumah purba/baitul 'atiq" yang pondasinya telah ada sebelum zaman Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail hanya diperintahkan untuk meninggikannya sehingga membentuk bangunan. Baitul 'atiq merupakan istilah yang juga digunakan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat yang lain.

Kedua, ayat ini menggambarkan kaidah dalam berdo'a bahwa mohonlah kepada Allah setelah kita berusaha. Sebagaimana Nabi Ibrahim, setelah dia diperintahkan untuk meninggikan Ka'bah dan melaksanakannya, baru beliau berdoa memohon kepada Allah untuk menerima amal/pekerjaan beliau. Seringkali, manusia banyak berdoa meminta kepada Allah untuk memberikannya ini dan itu padahal belum ada satu upaya pun yang ia telah lakukan untuk mencapai tujuannya tersebut. Berdasarkan konteks ayat ini, kita diminta untuk berusaha, lalu berdo'a. Berikhtiar, lalu berdo'a.

Do'a lanjutan Nabi Ibrahim dalam ayat 127 dan 128 bisa kita gunakan dalam do'a sehari-hari, walaupun harus diniatkan dalam konteks yang berbeda. Misalnya, pada ayat 128 beliau berdoa, "Rabbana waj'alna muslimaini laka" artinya Ya Tuhan kami, jadikanlah kami dua orang (Ibrahim dan Ismail) yagn berserah diri kepada-Mu. Kita bisa berdo'a dengan kalimat yang sama namun tentu niatnya menjadi antara kita dan istri/suami, bukan sebagai Ibrahim dan Ismail. Berdasarkan ayat 128 tergambar pula bahwa pada masa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail juga ada syariat manasik. Tidak hanya pada masa Nabi Muhammad saja.

Ayat 129 menggambarkan keinginan Nabi Ibrahim agar ada rasul yang bisa membimbing anak cucunya. Digambarkan pula karakter rasul tersebut, bahwa ia membacakan ayat-ayat Allah, mengajarkan Kitab Allah dan hikmah, serta menyucikan mereka. Para mufassir menafsirkan bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah Nabi Muhammad SAW. Hikmah, seringkali disebutkan dalam Qur'an, maksudnya adalah sunnah. Karakter-karakter yang ada dalam ayat ini juga merupakan tolok ukur bagi kita untuk menilai suatu gerakan ke-Islaman. Gerakan yang baik adalah yang gemar mengajak jama'ahnya untuk membaca Qur'an, serta lebih lanjut mempelajari dan mengkaji ayat-ayat Allah serta sunnah Rasulullah SAW. Juga di dalamnya dilakukan pembersihan jiwa bagi jama'ahnya.

Menanggapi pertanyaan salah seorang jama'ah kajian mengenai pembersihan jiwa, ust. Muslim memaparkan beberapa kiat:
1. Melakukan ziarah kubur, tentunya ziarah kubur yang sesuai syari'at. Tidak dengan membawa sajen atau memberikan uang di kuburan atau memohon sesuatu. Ziarah kubur dalam Islam merupakan salah satu cara mengingatkan kita pada kematian, bahwa kelak kita akan mati pula dan dikuburkan seperti halnya para mayit yang telah dikubur tersebut.
2. Banyak berjalan kaki
3. Membiasakan diri untuk shaum/berpuasa
4. Memakan makanan yang sederhana, tidak berlebih-lebihan

Terakhir, mengenai ayat 130 Allah menyatakan bahwa orang yang membenci agama Ibrahim adalah orang yang memperbodoh diri sendiri. Mengapa dalam ayat ini hanya disebutkan Ibrahim, tidak lagi Ismail? Ini menggambarkan bahwa sebenarnya yang diberikan risalah oleh Allah dan diberi amanat untuk menyampaikan risalah adalah Nabi Ibrahim. Beliau adalah nabi dan rasul. Nabi Ismail hanyalah seorang nabi yang tidak membawa risalah. Nabi terkadang tidak diwajibkan untuk menyampaikan risalah kepada kaumnya, memiliki kemampuan terbatas. Sebagaimana kisah Nabi Musa dan nabi Harun, ketika Nabi Musa meninggalkan kaumnya selama 40 hari dan memberikan amanah kepada nabi Harun ternyata umatnya melakukan penyimpangan. Sampai-sampai Nabi Musa menarik janggut Nabi Harun untuk menanyakan mengapa sampai kaumnya kemudian manyimpang, Nabi Harun menjawab bahwa ini di luar kemampuannya. Ia tidak mampu untuk melarang.

Allahu a'lam bish showab.

No comments:

Post a Comment