Monday, July 3, 2006

[Publikasi] Balikpapan Macet

Rutinitas tiap hari bolak-balik Damai-Sepinggan membuatku jarang melihat suasana "kota" Balikpapan siang hari. Pokoknya hanya pagi ke kantor Sepinggan, siang pulang ke Dam untuk makan siang dan main sebentar dengan dua jundi kecilku, setelah itu kembali ke Sepinggan. Sore pulang ke Dam lagi. Perjalanan dari rumah ke Sepinggan pun hanya butuh 10-15 menit. Lebih sering 10 menit karena kutempuh dengan kecepatan rata-rata 100 km/jam. Maklum, belum bisa menghilangkan budaya ingin cepat sampai rumah ala Jakarta.

Rutinitas itu kini berubah. Karena istri ingin diantar dijemput ketika mengajar di sekolah, semakin seringlah aku melihat suasana kota saat siang hari. Pertama lihat, kaget juga. Wah, ternyata di Balikpapan bisa macet juga ya! Semakin sering lewat semakin heran pula. Wah, ternyata sekarang tiap hari Balikpapan macet!

Bagaimana tidak? Pusat pertumbuhan kota tidak dikembangkan ke daerah pinggiran, mungkin satu-satunya usaha yang berhasil dalam membuat pusat pertumbuhan baru adalah Perumahan Balikpapan Baru dengan Mal Fantasi-nya. Selebihnya, keramaian perdagangan, jasa, maupun perkantoran masih terpusat di sepanjang Damai-Klandasan dan Gunung Sari-Rapak. Belum lagi pembangunan beberapa pusat perbelanjaan baru yang kesemuanya terletak tidak jauh dari pusat perbelanjaan yang sudah ada.

Beberapa media lokal juga sempat menyoroti masalah ini. Satu usul menarik dikemukakan oleh Gina Nawangwulan dalam kolom Opini di harian Kaltim Post 16 September. Gina mengusulkan tentang perlunya biaya atas dampak eksternalitas yang dibebankan dalam pengurusan IMB. Kajian tentang dampak eksternalitas itu sendiri mencakup kebisingan, potensi penyebab kemacetan, maupun dampak lingkungan lainnya yang biasa diperhitungkan dalam AMDAL. Hasil dari pengumpulan biaya eksternalitas dapat dimanfaatkan untuk memecahkan daerah rawan macet atau pembangunan daerah secara umum.

Menurut cerita salah satu dosen saya ketika perkuliahan dulu, banyak walikota di Amerika Serikat berasal dari kalangan arsitek atau perencana kota (city planner). Tak heran mereka memiliki perhatian yang besar dalam masalah pembangunan. Mereka tak sembarangan dalam melakukan modifikasi RTRW (rencana tata ruang dan wilayah). Lebih lanjut sang dosen mencontohkan bahwa di Belanda, sebuah daerah yang dikenal dengan nama Kebun Tulip mampu bertahan menjadi sebuah kebun tulip sejak tahun 1700-an hingga saat ini. Di Indonesia? Jangankan lahan kosong semacam kebun, bangunan yang sudah berstatus sebagai bangunan cagar budaya pun dapat dengan mudah dirobohkan, ditukar guling, dikalahkan oleh kepentingan ekonomi.

Pemerintah Kota Balikpapan sendiri tampaknya sudah menyadari bahwa pertumbuhan kota mulai menuju ke arah yang mengkhawatirkan. Oleh karena itu dalam rancangan RTRW 2005-2010 mulai dibuat strategi untuk memekarkan pusat pertumbuhan kota. Untuk memecahkan masalah kemacetan, salah satunya adalah dengan membangun jalan di pesisir pantai (coastal highway). Menurut gambar rancangan RTRW yang saya lihat di beberapa kesempatan, pembuatan coastal highway akan diikuti dengan reklamasi pantai sejauh 500 meter dari bibir pantai saat ini, sepanjang pantai Klandasan hingga Sepinggan.

Pilihan itu bukannya tanpa risiko, rancangan RTRW 2005-2010 masih belum disahkan oleh DPRD Balikpapan mengingat Pemerintah Kota belum menyerahkan dokumen AMDAL. Kekhawatiran DPRD bukan tanpa sebab, RTRW yang dibuat oleh konsultan dari Semarang itu tampaknya belum memperhitungkan fakta bahwa kota Balikpapan dengan kondisi bibir pantai yang belum berubah saat ini masih rawan banjir. Terutama apabila hujan deras turun bersamaan dengan arus pasang naik, dapat dipastikan daerah-daerah cekungan atau padat penduduk seperti Rapak, pertigaan Antasari-Gunung Kawi, Puskib, Gunung Sari, Terminal Damai akan mengalami banjir. Belum lagi fakta bahwa pusat pertumbuhan ekonomi tetap akan berpusat pada daerah pesisir pantai. Alih-alih memecahkan masalah kemacetan, yang terjadi justru kemacetan yang lebih parah pada daerah Klandasan-Damai serta daerah hasil reklamasi pantai, juga potensi ancaman banjir yang semakin meluas.

Sesungguhnya akar masalah dari timbulnya kemacetan di Balikpapan adalah semakin bertambahnya pengguna kendaraan bermotor milik pribadi. Secara kasat mata dapat kita lihat bahwa mulai tahun 2002 hingga sekarang, jumlah kendaraan semakin bertambah, baik roda empat maupun roda dua. Tak heran apabila saat ini kita seringkali melihat kendaraan baru berpelat nomor putih melintas di jalan-jalan kota ini. Pertumbuhan jumlah kendaraan pribadi muncul akibat kurang meratanya moda transportasi umum di Balikpapan. Masih banyak daerah yang tidak terjangkau angkutan umum, sehingga warga masyarakat akhirnya memilih untuk membeli kendaraan bermotor.

Moda transportasi umum yang saat ini ada di Balikpapan masih belum dapat memecahkan masalah kemacetan karena kecilnya daya angkut. Sebuah angkutan kota hanya mampu mengangkut maksimal 12 orang. Itu pun belum menjangkau ke seluruh pelosok kota. Apabila Balikpapan ingin disejajarkan dengan kota besar lainnya di Indonesia, atau bahkan di dunia, maka harus dirancang strategi penyediaan moda transportasi massal yang nyaman, berdaya angkut besar, dan terjangkau oleh masyarakat.

Bangkok pernah mendapat julukan sebagai kota paling macet di Asia Tenggara. Berkat kegigihan usaha dari pemerintahnya untuk memecahkan masalah kemacetan maka kini Bangkok menjadi kota yang lebih nyaman untuk ditinggali. Alternatif yang dipilih oleh pemerintah kota Bangkok adalah dengan membangun jaringan kereta bawah tanah. Lain lagi alternatif yang dipilih oleh Malaysia. Mereka lebih memilih untuk mengembangkan jaringan kereta monorel yang memiliki jalur tersendiri di atas tanah. Mirip dengan jalan kereta api di Jakarta yang terletak sekitar 12 meter dari tanah. Monorel di Malaysia dapat kita nikmati sejak turun di bandara internasionalnya hingga Putrajaya dan Kuala Lumpur, dan akan dikembangkan lagi untuk dapat menjangkau daerah lainnya.

Alternatif lain yang mungkin lebih mudah diterapkan untuk Balikpapan adalah dengan meniru Singapura. Negara ini menerapkan biaya yang sangat tinggi untuk kepemilikan kendaraan bermotor. Tidak hanya itu, jumlah kendaraan yang beredar di jalan pun dibatasi. Satu hari untuk kendaraan bernomor polisi genap, hari lainnya untuk yang ganjil. Selain itu, ada pembatasan umur kendaraan sehingga kendaraan berumur tua tidak diperkenankan untuk ada di Singapura. Pembatasan ini juga bersifat mengamankan lingkungan, karena semakin tua kendaraan maka biasanya semakin tinggi emisi gas buangnya.

Balikpapan belum terlambat. Apabila pemerintah kota mempunyai keinginan yang kuat untuk menuntaskan masalah kemacetan maka insya Allah akan dapat diatasi. Jangan sampai kota kita menjadi seperti Surabaya yang tak siap menyandang gelar sebagai kota metropolis, lalai untuk menyediakan angkutan massal yang nyaman bagi masyarakatnya. Dukungan warga masyarakat diperlukan untuk menekan pemerintah agar tidak abai terhadap penyediaan transportasi massal yang layak.

Adhika Bayu Pratyaksa
--arsitek, pemerhati masalah urban--
30 Sept 2005


No comments:

Post a Comment