Monday, December 17, 2007

Menerbangkan Layang-Layang Kita

Saya menikah di usia yang cukup muda, 22 tahun. Tepat setahun setelah pernikahan, lahir anak pertama kami, Hilmi namanya. Sebagai pasangan yang baru dikaruniai anak, kami banyak menimba ilmu dari kawan-kawan yang telah lebih dahulu menikah. Satu petuah yang masih saya ingat dalam benak adalah ucapan dari salah seorang kawan. Ia cukup aktif dalam kegiatan dakwah di kota pelajar di Jawa Timur tempat kami tinggal dulu.

"Anak itu jangan dibiarkan terlalu dekat dengan kita. Apabila terlalu dekat, suatu ketika kita harus pergi bisa-bisa anak akan nggandoli kita karena terlalu lengket. Nah, kegiatan kita jadi terhambat khan..," begitu kira-kira ucapan beliau saat itu.

Spontan saya berpikir dalam hati, apabila anak tidak dekat dengan orang tuanya, mau dekat dengan siapa lagi?!

Lain lagi dengan kisah berikut ini. Sandi adalah seorang anak yang dekat dengan ibunya. Maklum, ayahnya telah meninggal dunia sejak Sandi berusia remaja. Merasa sangat berhutang budi kepada ibunya, Sandi berusaha sekuat tenaga untuk dapat membahagiakan sang ibu. Setelah bekerja, hampir seluruh penghasilannya ia kirimkan untuk membantu ibu dan adik-adiknya.

Kebiasaan ini tak berkurang setelah ia menikah, bahkan setelah ia memiliki anak. Masalahnya, ketika penghasilannya terkuras untuk membantu ibu dan adik-adiknya, ia berpaling kepada penghasilan sang istri yang kebetulan juga bekerja. Apabila sang istri menolak untuk memberikan, maka Sandi akan marah besar. Akibatnya, rumah tangga mereka menjadi panas.

Dua kisah yang berbeda. Yang pertama, di orang tua yang tidak ingin dekat dengan anak. Kedua, anak yang terlalu dekat dengan figur orang tua. Keduanya meninggalkan jejak tersendiri dalam benak saya tentang cara mendidik anak.

Bagaikan bermain layang-layang, begitulah kita mendidik anak. Kita harus tahu kapan harus menarik atau mengulur benangnya. Apabila tepat, tentu akan makin tinggi ia terbang. Namun apabila kita terus menerus menarik benangnya, bisa-bisa tak kunjung ia terbang meninggi.

Membuat anak berhasil, memang butuh banyak "tarikan" di awalnya. Perlahan, tarikan itu pasti akan kita kurangi, hingga lama-kelamaan meninggi ia mengangkasa. Tak usahlah takut, walau ia mengangkasa hingga jauh dari pandangan, yakinlah bahwa selalu ada benang yang menghubungkan antara hatinya dengan hati kita. (Adhika Bayu P.)

Ilustrasi diambil dari http://www.kckpl.lib.ks.us/

6 comments:

  1. Perfect illustration...
    Sangat membantu dalam memaknai parenthood. Selama ini masih menimbang mesti pake cara 'kelekatan' atau sebaliknya. Pernah juga mengacu pada puisi Khalil Gibran, yg orang tua jadi busur, anak jadi anak panahnya. Hmmm... Dipikir2 kalo tiba2 anak panahnya harus dilepas, bisa shock jg ya. Belum lagi takut ilang krn ga ada talinya hehe.
    Tapi layang2 ini much better! :-)

    ReplyDelete
  2. Mmmm, maknanya mendalam. Kira2 kita sebagai anak sudah seperti layang-layan itu belum yah??
    Orang tua kita sudah melepas kita, tapi kita ibarat burung yang masih suka dengan sangkar buatan orang tua kita di banding sangkar yang kita bagun sendiri... Belu rela untuk di lepaskan..
    .

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah kalo bisa membantu Bu Dokter :) Masih betah di Papua nih Ki?

    ReplyDelete
  4. Betah donk pak. Meski penuh kesedarhanaan, yg penting sangkar buatan kami sendiri hehehe

    ReplyDelete
  5. asal ga jadi....layang layang putus cak, di betot mulu sih mentang2 pake benang gelasan ;))

    ReplyDelete